![]() |
| Photo by Alicia Christin Gerald on Unsplash |
"Sesungguhnya, mengetahui bahwa mahasiswa psikologi ingin membantu orang lain, tidak menyukai statistik, dan ingin memahami diri sendiri serta orang lain bukanlah hal yang baru (Stewart dkk., 2005, hlm. 702).”
Ketika membaca artikel Be honest—why did YOU decide to study Psychology? A recent graduate and a professor reflect karya Robert Hurst dan Jerome Carson, saya merasa diajak untuk berhenti sejenak dan menengok kembali perjalanan saya selama ini.
Artikel tersebut mengingatkan saya bahwa ada beragam motivasi untuk belajar psikologi. Ada yang lahir dari dorongan intrinsik, seperti rasa ingin tahu, kepuasan, atau pencarian makna diri. Ada pula yang bersifat ekstrinsik, seperti keinginan membangun karier atau membantu orang lain.
Secara khusus, tema motivasi yang disoroti dalam artikel tersebut adalah wounded healer dan introspective. Wounded healer adalah bentuk motivasi ekstrinsik untuk mempelajari psikologi dengan tujuan membantu orang yang mengalami masalah kesehatan mental. Hal ini didorong oleh pengalaman langsung maupun tidak langsung dengan gangguan mental. Mahasiswa psikologi menyebut dengan istilah "rawat jalan".
Satu sisi, introspective adalah bentuk motivasi intrinsik untuk mempelajari psikologi dengan tujuan memahami diri sendiri dan/atau orang lain dengan lebih baik.
Sebagai seorang yang (tentu saja) pernah menghadapi masalah psikologis, saya memahami betul bagaimana pengalaman "luka" bisa menjadi energi untuk menolong orang lain. Di sisi lain, ada juga dorongan introspective: keinginan memahami diri sendiri, keluarga, dan orang di sekitar. Kedua motivasi ini tidak selalu berjalan terpisah karena sering kali keduanya hadir bersamaan, saling menguatkan.
Artikel tersebut membuat saya menyadari bahwa motivasi semacam itu bukan kelemahan, melainkan sumber daya yang bisa memperkaya proses belajar.
Hal ini secara tidak langsung menyinggung peran saya sebagai seorang dosen. Ketika pengajar memahami motivasi mahasiswa, mereka tidak hanya mengajar materi perkuliahan, tetapi juga memberi ruang aman bagi mahasiswa untuk mengolah pengalaman hidupnya.
Saya teringat bagaimana rasa imposter syndrome bisa muncul—apakah saya layak menjadi seorang dosen psikologi jika pernah mengalami masalah mental? Namun, pengalaman di kelas dan berbagai cerita dari orang lain justru meneguhkan bahwa "luka" bukan penghalang, melainkan jembatan menuju empati.
Akhirnya, saya ingin mengatakan bahwa motivasi adalah kompas yang membimbing perjalanan akademik seseorang. Dengan mengenali motivasi, kita dapat memilih jalur yang sesuai. Entah menjadi konselor yang menyalurkan energi wounded healer atau peneliti yang mendalami dorongan introspective.
Bagi saya pribadi, refleksi ini adalah pengingat bahwa alasan kita memasuki psikologi tidak hanya menentukan cara kita belajar, tetapi juga bagaimana kita kelak memberi makna bagi orang lain.

Komentar
Posting Komentar